Kamis, 23 Desember 2010

"Gadget" Canggih, Kreativitas Zadul

KOMPAS.com - Dalam berbagai forum internasional yang membahas teknologi informasi dan komunikasi, Indonesia salah satu pangsa pasar dunia yang selalu disebut dan dilirik. Dilirik dalam pengertian, inilah tanah dengan penduduknya yang haus mengonsumsi barang-barang mewah atau dikesankan mewah.
Yang laris di Indonesia tak semua barang yang benar- benar mewah. Barang yang dikesankan atau dicitrakan mewah, keren, bermanfaat, berteknologi tinggi pun dilahap pasar.
Hiruk pikuk dan hajat setiap rumah tangga di Indonesia bisa dibilang didominasi satu hal, yaitu hasrat untuk menggunakan gadget mewah dengan fitur canggih. Di negeri ini, urusan yang sebenarnya sederhana ini akhirnya menjadi pelik.
Lihatlah berbagai berita di media massa, sampai-sampai ada anak yang bunuh diri gara-gara orangtuanya tak mampu membelikan telepon seluler (ponsel) canggih.
"Aktivis ... Bunuh Diri...Karena Tidak Dibelikan BlackBerry", ada juga "Tak Dibelikan HP, Bunuh Diri", itu adalah judul berita di media massa yang benar-benar terjadi. Ada juga yang bunuh diri gara-gara ponsel yang dibelikan ibunya tak bisa digunakan untuk mengakses Facebook.
Produk digital juga ditanggapi konsumen dengan cara yang sama. Kita pasti sudah menjadi pengguna sehingga tahu bagaimana situ-situs jejaring sosial menggaet popularitas secara mudah di Indonesia, bahkan lebih heboh di negara pembuatnya atau negara maju lain.
"Ini terjadi karena karakter orang Indonesia yang mudah terpengaruh. Jadi, ketika suatu jenis gadget sedang booming, semua ikut berpindah dengan alasan supaya tidak ketinggalan zaman, supaya tidak dicap enggak gaul," kata Ineke Yulianti, mahasiswa jurusan Perhotelan Sekolah Tinggi Pariwisata Trisakti, Jakarta.
Kita hanya menyaksikan bagaimana manusia-manusia heboh dan berbondong-bondong, bahkan cenderung berlomba-lomba, mengonsumsi berbagai produk itu tanpa perlawanan. Tanpa ada dorongan ingin membuat sesuatu untuk menandinginya, atau setidaknya membuntutinya.
Di Indonesia, kita baru memiliki segelintir generasi muda yang berani menawarkan sesuatu yang baru kepada masyarakat walau harus berhadapan dengan brand global. Beberapa di antaranya memang masih berjibaku dengan pendapatan yang pas-pasan, tetapi sebagian lagi sudah menikmati keuntungan ekonomi.
Misalnya Koprol.com yang menawarkan jejaring sosial berbasis lokasi buatan anak bangsa yang akhirnya sukses dan digaet Yahoo. Atau, SITTI, sebuah platform iklan kontekstual berbahasa Indonesia yang dengan penuh semangat berani menantang iklan kontekstual Google Adwords.
Peluang dan potensi untuk berkarya jelas terbentang luas karena pasar lokal Indonesia juga terbuka. China, terlepas dari persoalan pelanggaran hak cipta, membuktikan bahwa mereka begitu merasa tak terima jika hanya menjadi penonton.
Makanya, jangan heran kalau berbagai produk canggih di dunia ini semua ada "kloning-nya" atau ada versi palsu yang mirip buatan China. Gadget mirip iPad, tetapi dibangun dengan sistem operasi Android, misalnya, di China sudah dibuat dan di pasaran harganya hanya sekitar Rp 300.000.
Sebatas gaya
Kebanyakan kita menganggap gadget canggih ataupun berbagai produk digital keren di pasaran adalah sesuatu yang datang dari "langit", dan pasrah untuk sekadar memakainya.
Ketika kita menenteng iPad di kafe, sambil nyeruput kopi dan update status, seolah pundi-pundi status sosial, status gaul, dan status melek teknologi sudah terisi dengan sendirinya. Kita merasa punya energi percaya diri untuk berbaur dengan orang-orang yang kita kenal.
Padahal, itulah tabiat yang harus didekonstruksi. Tabiat yang hanya puas ketika sekadar menggunakan atau mengonsumsi produk teknologi, layaknya kita hanya puas menyeruput secangkir kopi di kafe ternama. Bukan kenikmatan kopinya yang kita cari, tetapi sensasi berada di tengah "peradaban" urban yang keren itulah yang dirasakan.
Padahal tidak demikian. Persoalan teknologi adalah masalah pragmatis. Persoalan siapa yang bisa mengambil keuntungan dari peluang tersebut.
Persoalan siapa yang lebih berkarya dan lebih kreatif membuat sesuatu, bukan persoalan siapa yang lebih banyak mengonsumsi Twitter atau Facebook, atau persoalan berapa banyak pengguna gadget keren seperti iPad atau BlackBerry di negeri kita.
Bolehlah kalau kita seorang mahasiswa yang sudah menjadi manajer perusahaan dan memang harus lekat dengan gadget canggih untuk berkomunikasi dengan bawahan atau para klien. Namun, kalau gadget hanya dianggap sebagai penyokong kepribadian kita di kampus, maka inilah yang harus diluruskan.
"Fenomena ini bisa terjadi karena anak muda dan mahasiswa umumnya merasa kurang percaya diri tanpa ditemani sederet aksesori mewah, seperti BlackBerry, Android, dan lain sebagainya," begitu komentar Akhmad Rifa’i Ma’ruf, mahasiswa jurusan Tafsir dan Hadits, Fakultas Ushuluddin, IAIN Walisongo, Semarang.
Ironisnya, barang-barang tersebut tidak sepenuhnya dimanfaatkan sebagai sarana untuk meningkatkan kualitas diri. "Gaya oke, mutu no way. Inilah perilaku materialisme yang sedang menginfeksi dunia kampus sekarang," sentil Akhmad. (Amir Sodikin)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar